Noto Ati, Noto Roso, Noto Jiwo

Minggu ke-3, 21 Desember 2017

Oleh :
Gus Hairi Mustofa
Pemangku Padhepokan PUSAKA Sunan Tembayat
Dandong Srengat-Blitar


Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat Blitar

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Para warga Padhepokan
Suatu saat, Kanjeng Sunan Kalijogo ketika itu masih muda bernama Raden Mas Said. Ada suatu niat yang baik yaitu ingin membantu rakyat miskin dengan merampok orang-orang kaya untuk dibagi-bagikan kepada rakyat miskin (Maling Cluring) tapi tingkah laku Raden Mas Said tersebut tidak benar.

Suatu saat Raden Mas Said melihat Ko Bong Ang atau Sunan Bong Ang atau Sunan Bonang, berjalan dipesisir sungai menggunakan tongkat. Dengan berdzikir Sunan Bonang berjalan menyisiri sungai, karena kuat dalam ber-dzikir maka tongkat beliau seolah-olah terlihat seperti emas. Raden Mas Said ketika melihat itu maka timbul rencananya untuk merampok tongkat tersebut. Raden Mas Said sangat jengkel karena disaat kondisi susah seperti ini masih ada orang sombong dengan tongkatnya yang terbuat dari emas. Disuatu kesempatan tongkat tersebut direbut oleh Raden Mas Said. Pada saat direbut, Sunan Bonang kehilangan keseimbangan, terjatuh dan tidak sengaja memegang rumput untuk berpegangan dan rumput itupun tercabut. Sunan Bonang menangis. Beliau menangis, bukan karena direbut tongkatnya tapi menyesali tercabutnya rumput tersebut yang mengakibatkan kematian sang rumput yang sia-sia. Lalu Sunan Bonang berkata kepada Raden Mas Said, “Kamu itu butuh apa, itu lho buah Kolang-kaling”. Sesaat  itu juga buah Kolang-kaling yang ditunjuk oleh Sunan Bonang berubah menjadi emas. Inilah kemampuan Ilmu Kalam dari Sunan Bonang.

Terulang ketika jaman Sunan Pandanarang. Sunan Kalijogo mencangkul tanah menjadi emas untuk menyadarkan Sunan Pandanarang bahwa apa yang kita kejar pada hakekatnya hanya kekosongan belaka. Maka yang terjadi adalah suatu pendidikan jiwa bagi kita semua.


Para warga Padhepokan
Dari cerita diatas maka dapat kita petik pesan yang pertama bahwa kalau kita mengerti, dunia ini tan guno, hanyalah kendaraan untuk menuju Allah. Sehingga sesuai dengan pesan Ibnu Atho’illah :

“Barang siapa yang mengetahui sesuatu yang haq yaitu Allah maka dirinya memandang yang lain adalah tidak kekal yang kekal hanyalah Allah”. 

Apapun yang berwujud yang terlihat dengan kasat mata maka hakekatnya tidak akan kekal dan tidak ada kekekalan apapun kecuali Allah. Inilah yang diajarkan Sunan Bonang kepada murud-muridnya, kepada Sunan Kalijogo. Begitu juga Sunan Kalijogo mengajarkan kepada Sunan Tembayat.

Apa yang mau  kamu kejar didunia ini, wong donyo niku sak kedeping netro, sak gebyaring mata. Walaupun tidak memungkiri bahwa hidup itu pasti ada hawa nafsu. Yen ora ono urip mesti ora ono hawa nafsu itu mesti memerlukan dunia. Tapi jangan dibuat dunia ini menjadi tujuan utama. Krono sak tenane kabeh niku fana kecuali Allah kang baqa’.

Yang kedua, apa yang dijarkan Sunan Bonang dan Sunan Kalijogo kepada Sunan Tembayat, sebaik apapun tujuan kita maka kita tetap harus menggunakan etika. Benar tujuan kita tapi harus baik dan baik harus menggunakan etika. Nah, etika ini yang dimaknai adalah berbudaya.  Maka kebaikan berbudaya ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh kanjeng Sunan Tembayat yaitu rasa paseduluran. Saat ini para dulur, kebaikan, rasa kemanusiaan saat ini sudah hilang yang muncul hanyalah retorik-retorik saja. Ada suatu kelompok yang meneriakkan khilafah islamiyah, selalu menyalahkan orang lain. Merasa dirinya paling benar.



Para dulur warga Padhepokan
Manakala kita mempunyai tujuan baik tapi harus tetap menggunakan etika dimata masyarakat. Rasulullah, orang yang paling tinggi derajatnya yang paling diterima segala doanya oleh Allah, beliau kang angon langit dan bumi itupun bermasyarakat dengan baik. Beliau selalu memakai pakaian yang sederhana dan tidak pernah memakai pakaian yang mewah gemerlapan dilapisi emas.

Kadang-kadang orang itu sudah puas jika sudah berguru ke “Mbah Google”, sudah merasa pintar hanya membaca kitab tipis- tipis, akhirnya yang mucul selalu menyalahkan orang lain, membid’ah orang lain. Merasa dirinya yang paling benar dan orang lain salah. Sholat pakai Qunut dianggap bid’ah. Ada orang ba’da Adzan melakukan pujian dianggap bid’ah. Padahal pujian itu adalah do’a secara pribadi dan dibidang kemasyarakatan untuk mengisi waktu antara adzan dan iqomat dengan sebuah pesan. Do’a dimakam dianggap bid’ah, di tuduh kafir, tahayul dan lain-lain. Seolah-olah dianggap Wali Songo itu tidak ada dan kalau perlu kuburan-kuburan ditiadakan. Jadi sangat menyedihkan para warga cara berpikirnya.

Perlu diketahui Wali Songo sudah ada sejak dahulu kala. Wali Songo merupakan bentuk organisasi dakwah. Jadi jumlah 9 itu artinya pemimpin dan kasampurnaan sebelum menuju angka nol. Angka 9 juga merupakan yang tertinggi. Jika ada salah satu wali yang meninggal atau tidak ada maka segera digantikan oleh yang lain.

Nah, ini dianggap tidak ada oleh mereka karena kurangnya membaca sejarah, kurangnya memahami tata kehidupan bermasyarakat, seolah-olah penyebaran agama itu hanya berakal saja padahal ada rasanya (roso). Kalau kita secara beragama hanya mengandalkan akal saja pasti kita akan selalu kecewa, karena bisa jadi jika kita berdoa setiap hari belum tentu dikabulkan saat itu juga. Tapi kalau kita menggunakan rasa/roso maka tidak ada sesuatu yang haq, tidak ada sesuatu yang benar kecuali Allah.

Para warga Padhepokan
Oleh karena itu mari kita semua menata hati, menata rasa, menata jiwa (noto ati, noto roso, noto jiwo) sehingga ketika menghadap Allah adalah benar-benar segenap jiwa dan raga, bukan hanya gambar sholatnya saja tetapi dengan sebenar-benarnya sholat jiwa dan raga.

Rasa/roso itu mari kita hidupkan. Jangan hanya berdiri diakal saja tapi jadikan rasa/roso itu menjadi salah satu bagian untuk pijakan. Inilah yang diajarkan Rasulullah, yang diajarkan Sunan Tembayat dan yang diajarkan oleh para wali-wali dan ulama-ulama, para sesepuh lain. Selain akal maka harus kita mengedepankan roso ne awake dewe. Sholat sering kali hanya sebuah ceremonial saja dan melakukan ibadah itu hanya berdasarkan karena perintah Allah saja bukan karena sesuatu keinginan kita dan bukan karena kebutuhan kita untuk beribadah kepada Allah.

Pramilo monggo ing dalu niki, ing malam Jum’at legi kautamane dalu ing tanah jawi, kanthi jiwo kita, kanthi ati-roso kita nenuwun ngarsaning  Allah, mugi kulo  lan panjenengan lan sak anak kulo lan panjenengan tansah pinaringan iman kang jejeg, pinaringan keselametan dunia akhirat, pinaringan tiyang-tiyang ingkang mahanani mangerteni nglakoni persaingan ugi sae tumrap sak padane titah.
Al-Fatihah

Mugi-mugi wasilah poro alim, wasilah kanjeng Sunan Tembayat, kulo lan panjenengan tansah pinaringan keselametan donya akhirat sak anak turun kita sedoyo.
Al-Fatihah

Ya Allah ngabulaken gegayuhan kita, gegayuhan anak turun kita.
Al-Fatihah


Wassalamu'alaikum Wr. Wb



Postingan Populer