Urip Kayu Kayuning Djati

Minggu ke-4, 26 Juli 2018

Oleh :
Gus Hairi Mustofa
Pemangku Padhepokan PUSAKA Sunan Tembayat
Dandong Srengat-Blitar

Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat Blitar
 Assalamu'alaikum Wr. Wb
Para Warga Padhepokan
Pada suatu hari karena saking asyiknya berdzikir kepada Allah dan begitu cintanya kepada Allah, sesosok seseorang menjadi lupa akan janjinya atau kesepakatan dengan seseorang. Pada saat dua pertiga malam yang terakhir orang itu teringat, "Lho..Aku iki duwe janji...yen ing dino iki kudune madeg masjid, sak ora-orane aku setor soko adeg-adeg masjid, yen soko iki sampek ora ono...yen soko iki lemah mongko masjid iki bakal rubuh". Seseorang itu adalah Sunan Kalijogo atau Raden Said atau Syekh Malaya.

Sayup-sayup terdengar adzan subuh yang membuat beliau tersadar bahwa hari ini ada janji dengan para ulama dan wali tanah Jawa. Semua sahabatnya majelis aulia, majelis para ulama tanah Jawi sudah menyiapkan soko berjumlah 8 buah dan kurang satu.

Kanjeng Ampel Denta bingung, "Kemana Said ini...kemana Kalijogo kok tidak datang padahal soko ini jumlahnya harusnya 9". Padahal dikesepakatan Sunan kalijogo ini menjadi soko yang ke-sembilan.

Beberapa saat kemudian Sunan Kalijogo datang kepada kanjeng Ampel secara batin dan berkata, "Duh...guru kulo Mbah Ampel...ngapunten sanget kulo telat."

"Said, apa kamu lupa bahwa besok kalau sudah berdiri, masjid ini segera dibuat sholat Jum'at", jawab Kanjeng Ampel yang merupakan mertua Sunan Kalijogo .

"Enggih Mbah Ampel kulo pancen radi kesupen", jawab Sunan Kalijogo

Seketika itu Raden Said langsung tersadar dari dzikir di pinggir Kali Lanang dan segera membuat tali dari rumput Rawadan dan dipelintir-pelintir menjadi seutas tali yang panjang. Setelah itu beliau berjalan kearah utara dan mengumpulkan kayu tatal sebesar betis, dikumpulkan dan diikat. Namun pada saat mengumpulkan kayu ada orong-orong yang secara tidak sengaja tertebas lehernya oleh parang Sunan Kalijogo tapi belum mati karena Allah belum menghendaki.

Melihat itu Sunan Kalijogo berucap, "Ya qoyyu..Ya qoyyu...Ya Qoyyun".

Kemudian diteruskan dengan santrinya, "Urip kayu, kayuning djati." yang berarti urip itu qayyun kang sejati hanya Allah. Kemudian Kanjeng Kalijogo menghamparkan "udengnya" dan duduk disebelahnya berucap, "Innama Amruhu Idza Arada Syaian An Yaqula Lahu..." dan santrinya menyahut 7 kali, "Kun Fayakun..."

Seketika itu orong-orong gregah-gregah hidup terbangun dan menghampiri Kanjeng Sunan kemudian berkata, "Kanjeng Sunan, saya minta maaf...saya hanya merepotkan yang harusnya hari ini segera jadi soko masjidnya namun panjenengan malah repot nenuwun teng Gusti Allah amrih kulo djati temahing waluyo, waluyo temahing djati."

"Kalau memang niatmu seperti itu, ayo...bantu", jawab Kanjeng Sunan.

Akhirnya orong-orong ikut membantu merapikan sisa-sisa serpihan kayu yang menempel diikatan soko tatal. Setelah selesai soko tatal berdiri, rumput rawadan tersisa dan Kanjeng Sunan merapal Khijib Jin dan dipecutkan tiga kali maka banyaklah kejadian diluar nalar manusia itu datang, Buto Kolo sosok tinggi besar yang merupakan ratunya jin tanah Jawa itu sekejap mata muncul didepan Kanjeng Sunan Kalijogo dan berkata, "Duh...Kanjeng Sunan kulo mboten kiyat, Kulo panjenengan Islamaken." Segera dituntun oleh Kanjeng Sunan untuk mengucapkan kalimat syahadat tiga kali.

 "Kanjeng Sunan...saya siap menerima perintah selanjutnya", ucap Buto Kolo.

"Bawalah Soko Tatal ini ke Glagah", perintah Sang Sunan.

Maka digotonglah soko itu ke daerah Glagah dimana para ulama dan wali berkumpul dan berjarak kurang lebih 3,5 km. Delapan soko yang lain sudah tiba ditempat dan tinggal satu soko yang belum datang. Sejenak ketika akan sampai di Glagah muncul angin kencang dan para wali lain seperti kelilipan (klilipen)  terpejam sejenak sekitar 5 menit dan ketika angin sudah lewat kemudian setelah membuka mata, soko tatal Sunan Kalijogo sudah berdiri disana. Walaupun sempat disangsikan oleh wali lain apakah kuat soko tatal seperti ini, namun kenyataannya alhamdulillah sampai saat ini masih berdiri kuat walaupun sudah "diblebet" tembaga dan sempat sebagian dipotong untuk renovasi.

Para Warga Padhepokan
Masjid itu akhirnya berdiri namun tidak sempurna seperti yang sekarang kita lihat. Setelah itu langsung dikumandangkan adzan untuk sholat Subuh yang dipimpin oleh Sunan Ampel yang merupakan wali yang paling sepuh. Setelah sholat, salam dan wiridan, Sunan Kudus bertanya kepada Sunan Kalijogo, "Adimas Kalijogo, apa yang adimas  baca kok sampai menggetarkan masjid ini.".

Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat Blitar

Segera santri Sunan Kalijogo menjawab, "Urip kayun, kayuning djati." Artinya bahwa urip kang sejati hanya Allah, kita semua asal tidak ada kembali juga tidak ada.

Habis keluar dari masjid ada dua bingkisan yang buat membungkus kulit wedhus domba (Gibas) bertuliskan ini hadiah dari Kanjeng Nabi Muhammad untuk Sunan Kaliogo. Hadiah tersebut satu berupa baju yang terkenal dengan Gundil "Kotang Antakusuma" dan Minyak Pertolo dan inilah yang menjadi pusaka Tanah Jawa utamaya Demak dan Sunan Kalijogo.

Timbul masalah lagi diantara wali yaitu saling mempertahankan pendapatnya tentang posisi Masjid Demak. Kanjeng Sunan Kalijogo seolah-olah memegang pucuk menara Masjid Demak ditelungkan dan didekatkan dengan menara Masjidil Haram Mekah didepan para wali terutama Sunan Drajad. Setelah semua yakin bahwa ternyata posisinya sudah benar dilepaskanlah pucuk menara itu. Oleh karena itu sampai saat ini Menara masjid Demak agak condong ke Masjidil Haram dan menara Masjidilharam agak condong ke Masjid Demak.

Para Warga Padhepokan
Gusti Allah itu berkuasa atas semuanya. Tidak ada sesuatau yang mustahil jika Allah sudah menghendaki. Seperti kisah diatas, Mukzizat dan karomah wali sebenarnya hal itu untuk mengangkat derajat manusia yang utama dan membuktikan kebenaran ilahiyah tentang Allah namun papun yang ada semua memerlukan tata cara. Maka muncullah budaya seiring dengan berkembangnya Islam di Nusantara sampai Sulu dan Patani bahkan terkadang budaya dan agama itu melahirkan adab tata krama yang sangat dihormati dan menghormati lingkungan.

Dengan welas asih tali toto coroning kejawen maka melahirkan seseorang yang berilmu dan berakhlak. Seorang yang berilmu tanpa akhlak adalah sangat berbahaya dan menyakitkan sesama. Lebih baik mempunyai seseorang yang berakhlak walupun tanpa ilmu daripada mempunyai seseorang yang berilmu tinggi tapi tanpa akhlak. Karena apa, "Tidaklah aku turunkan kepadamu wahai Muhammad kecuali untuk memperbaiki akhlak".

Termasuk keasyikan kita kepada Allah berupa dzikir-dzikir hati kita kepada Allah adalah bagian dari akhlak. Sering kita memohon ya Allah..irhamna ya arhamarrohimin...welas asih ya Allah namun dibaliknya kita sendiri tidak pernah welas asih. Bahkan sebenarnya tidak ada sedikitpun rasa welas asih kita bermanfaat untuk Allah. Monggo kita semua menata menjadi manusia yang mempunyai nur, manusia yang berguna bagi sesama dan rahmatan lil alamin. Jika kita maampu menciptakan kedamaian maka ciptakanlah itu sebagaimana waktu kita salam selesai sholat kepada sekitar kita.

Jangan kita sedikit-sedikit membi'dahkan orang, mentahayulkan orang lain, menuduh musyrik...wong musyrik apa tidak itu dumunung ning ati. Ada orang yang munafik kepada Allah yaitu macak sholat tapi sebenarnya tidak betul-betul sholat karena hanya macak (berpura-pura) agar disebut khusyuk. Ngapunten, ada sebagian orang yang bangga dengan dahinya yang gosong dan hitam karena ingin dianggap ahli sholat maka muncul sifat sombong dan seolah-olah nanti pada waktu hari kiamat akan dibangunkan dan terlihat wajahnya padahal bukan karena dahinya gosong tapi hanya Allah yang tahu. Maka muncullah sifat pamer dan ingin merasa dihormati karena merasa lebih baik sholatnya....Masya Allah.

Para Warga Padhepokan
Kerono niku, mbalik teng ati kita, kita toto ati kita semua agar toto hidup kita. Jangan sekali-kali munafik, pamer merasa amalan yang paling baik bahkan kalau ada semut yang tercebur kedalam air, tolonglah dan entaskan, siapa tahu dengan itu akan menyeimbangkan alam ini dan dapat mengurangi segala dosa kita. Seperti ketika Abu Bakar melepaskan burung kecil karena burung tersebut dibuat mainan anak kecil. Subhanallah...

Mari kita nenuwun dateng Allah, mugi-mugi ati, jasad kita, pemikiran kita namung dateng Allah kesaenan, Mugi berbuat kesaenan sak padane titah. Al-Fatihah.

Mugi Allah paring pitulung lahir lan bathin. Al-Fatihah

 Wassalamu'alaikum Wr. Wb


Rangkaian ziarah Rombongan Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat Blitar ke Makam Sunan Kalijogo dan Sunan Tembayat Klaten pada 14-15 juli 2018

Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Di pintu masuk Makam Sunan kalijogo
Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Sunan Kalijogo Kadilangu Demak
Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Aryo Penangsang Kompleks Makam Sunan Kalijogo Kadilangu
Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan adalah murid kesayangan Sunan Kudus. Arya Penangsang menjadi raja Demak ke 5 atau Penguasa terakhir Kerajaan Demak dan memindahkan pusat Pemerintahan nya ke Jipang, sehingga pada masa itu dikenal dengan sebutan Demak Jipang Sebelum terjadi perebutan kekuasaan dengan Hadiwijaya atau Joko Tingkir dibantu oleh Sutawijaya yang merupakan murid Sunan Kalijaga dan kelak memindahkan kerajaan ke Pajang

 
Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Aryo Penangsang Kompleks Makam Sunan Kalijogo Kadilangu

Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Aryo Penangsang Kompleks Makam Sunan Kalijogo Kadilangu
Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Mpu Supo Kompleks Makam Sunan Kalijogo Kadilangu

Empu Supa Madrangi alias Raden Joko Supo adalah putra dari Pangeran Sedayu yang memiliki keahlian membuat keris. Mpu Supa Madrangi adalah suami dari Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga. Ia adalah Empu (Ahli keris) kerajaan Majapahit yang hidup di sekitar abad ke 15. Karya karyanya yang termasyhur antara lain Keris Kyai Nagasasra, Kyai Sengkelat dan Kyai Carubuk. Sebelum menikah dengan Dewi Rasawulan, Mpu Supa beragama Hindu kemudian memeluk agama Islam setelah berdialog dengan Sunan Kalijaga
  
Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Panembahan Widjil Kompleks Makam Sunan Kalijogo Kadilangu
Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Syekh Maolana Maghribi Kompleks Masjid Agung Demak
Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Raden Fattah Kompleks Masjid Agung Demak
Padhepokan Pusakam Sunan Tembayat
Makam Pangeran Benowo  Kompleks Masjid Agung Demak
 Pangeran Benawa adalah putera Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati), anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.
 





Postingan Populer