Sakjeroning Hening Ono Heneng

Aurotan
Minggu ke-3, 20 September 2018

Oleh :
Gus Hairi Mustofa
Pemangku Padhepokan PUSAKA Sunan Tembayat
Dandong Srengat-Blitar

Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat

Assalamu'alaikum Wr. Wb
Para warga Padhepokan
Sunan Kalijaga dalam menterjemahkan kitab Al-Musarar dan nanti kelak diteruskan oleh putranya Sunan Muria. Kitab Al-Musarar sebenarnya bukan kitab untuk meramal tapi kitab itu berdasarkan Ilmu Falaq. Kitab itu menterjemahkan bahasa alam, menterjemahkan isyarat-isyarat yang diberian Allah, ingatase awake dewe, ingatase bumi jowo niki pada khususnya. Namu Kitab Al-Musarar sendiri tidak hanya berbicara tentang kejawen tetapi mampu membaca kapan daun itu akan gugur, kapan terjadi sesuatu dan apa yang akan terjadi jika kita mampu ngeningne rosone awake dewe.

Bahkan dalam kitab ini yang diterjemahkan oleh Kameswara I dengan sebutan Aji Joyoboyo, diterjemahkan sebagian oleh R.Ng. Ronggowarsito, yaitu berbicara tentang jiwa kita, tentang budaya kita sendiri yang semakin lama semakin menghilang. Jika kita mengetahui ada sebuah cerita, yang sebutkann Sabdo Palon dan Nayogenggong itu bukan danyang seperti yang dipahami masyarakat namun adalah dua orang yang menjadi penasehat raja dan lebih banyak berbicara mengenai spriritual dan masa depan tanah Jowo.

Para warga Padhepokan
Seperti disebutkan "Polahe menungso koyo dene gabah diinteri", "Wong Jowo kari separo Chino Londho kari sakjodo". Penterjemahannya seperti ini, Orang itu mencari kebenaran sudah susah. Banyak ulama yang menjadi ulama-ulamaan. Kemarin ada seseorang yang tidak tahu apa-apa, makrot tidak paham, tajwid tidak paham, masuk organisasi tertentu yang agak radikal dan diberi gelar ulama serta dicalonkan menjadi pemimpin negeri ini. Ulama, wong alim- wong alim ngumpul dan disebut ulama. Wong alim itu sebenarnya orang yang mengetahui dan berilmu. Secara spesifik ilmunya itu adalah ilmu agama namun awalnya juga ilmu samubarang. Ada orang yang mempermainkan, menggunakan keulamaan para ulama tapi sejatinya dia itu bukan ulama karena hanya ingin lepas dari permasalahannya. Karena polah manusia itu seperti gabah diinteri, mencari dimana?

Di dalam surat Al-Waqiah sudah dijelaskan, inilah Al-Quran yang telah diturunkan, dijaga oleh Allah dan telah terpelihara serta bagaikan permata. Kalaupun tidak mampu Al-Quran ini selalu bersanding dengan hadist. Jika kita tidak bisa maka carilah ulama yang sebenarnya, yang memahami betul tenang jiwa sehingga akhlaknya itu Al-Quran. Quran hadist tidak pernah mengajarkan menghujat sesama. Tidak pernah mengajarkan memamerkan amaliyah. Sholat saja dijalan, diumumkan, sebelumnya sewa drone, sewa helikopter untuk memfoto...lho ulama kok sugih banget. Ini patut kita pertanyakan. Kalaupun ulama kaya, kekayaannya untuk orang lain. Bahkan rumahnya dihiasi dengan kemiskinan dalam arti dihiasi dengan orang-orang miskin, dihiasi oleh yatim piatu. Lha...ulama-ulama itu saja sugih-sugih lupa dengan kemiskinan bahkan dengan tetangganya saja tidak kenal. Rosulullah itu bukan seperti itu. Ulama itu derek lampahe Kanjeng nabi, urip mung sak dermo. Kalaupun kaya atau ada itupun untuk orang lain.


Para warga Padhepokan
Kebingungan demi kebingungan sekarang ini sudah jelas, hal-hal seperti itu, padahal sudah jelas di surat Al-Waqiah. Yang kedua, "Kito ewuhayo ing pambudi", kita ada di persimpangan, sampai mana kita melangkah. Mau ikut edan tidak tahan, mengikuti mereka umpyaking jaman. Orang yang seolah-olah ngerti tapi sejatinya tidak mengerti, kita ikut tapi akhirnya sakit semua. Berbondong-bondong demo ke jakarta namun tidak mengerti tujuannya padahal itu semua adalah permainan politik. Kalimat Allah untuk mainan. Tapi kalau tidak ikut edan tidak kebagian, mereka saling berebut kue-kue kemerdekaan, kemakmuran bangsa ini. Makanya jika kita lihat, kita warga Padhepokan ya seperti ini saja. Yang tahu orang lain ya orang itu sendiri dan yang paham diri kita ya kita sendiri. Tidak usah ikut-ikut yang penting kita yakin tentang kebenaran Allah. Sak tenane iki lho semua kerono yakin.

Jika kita melihat dimedia sosial bahwa sikap saling membenci, menghujat, saling menjatuhkan itu diperlihatkan, dipertontonkan. Jauh dari sifat orang Jawa. Bahkan mereka sudah "duwe milik nggendong lali", punya keinginan tapi lupa dengan kebaikan orang lain. Banyak yang berkedok partai dan agama tapi masih saja ikut menjelekkan orang lain. Wakil rakyat di pusat sana tidak pernah terjun ke masyarakat. Tidak usah jauh-jauh di Blitar ini, jika jalan didepan  padhepokan ini sejak tahun 1985 tidak pernah ditinggikan tapi pajak bayar terus

Para warga Padhepokan
Chino londho kari sak jodo yang terjadi adalah budaya-budaya asing itu bisa berkembang karena lengkap sak jodho. Beda dengan jawa yang hanya separuh, jika ibarat laki-laki saja atau perempuan saja maka tidak akan berkembang. Wong wis ilang wirange, orang tidak punya lagi rasa malu. Para warga....ternyata kitab Musaror tidaklah bertentangan dengan Al-Quran namun mengambil intisarinya, disaring dan diterjemahkan yang mampu agar bisa diterima dengan masyarakat. Sekali lagi maknawiyahnya diambil agar bisa sesuai dengan jaman. Seperti rohman rohim pangeran itu bukan sekedar maha welas maha asih tapi mergo kawelasane pangeran kita diberi hidup, diberi panguripan maknanya jalan hidup itu peparinge Pangeran kabeh.

Dalam kitab Musarar diterjemahkan dalam syair Gus Dur, "Kafirnya sendiri tidak diperhatikan", tapi mengkafirkan orang lain. Seolah-olah jika sudah berteriak-teriak dengan takbir, mereka orang suci tapi lupa bahwa apapun yang kita lakukan lillah, untuk Allah. Pramilo dulur, Padhepokan mempunyai pegangan-pegangan Al-Quran yang sudah kita lakukan kesehariannya. Bahkan Mbah Ridwan sebagai sesepuh kita berpesan, "tutupono apikmu koyo dene kowe nutupi elekmu". Tujuannya apa? Tidak akan muncul riya, tidak akan muncul sombong.

Nglungguhing roso sak jeroning ati netepi darmone manungso, becik sakpadane titah, becik mring awakedewe, becik marang kang moho kuoso.

Sak jeroning peteng ono padang, sakjeroning peteng ono hening, sakjeroning hening ono heneng.

Ketika alam raya ini gelap gulita atau jika kita masuk Padhepokan, lampu dimatikan, gelap, sebenarnya kita memulai untuk menata diri, ada pencerahan dari hatinya masing-masing. Ada kesadaran dari hati kita bahwa apa yang kita lakukan adalah dzikir-dzikir kepada Allah untuk obat hati. Selanjutnya, ada hening, kita mengheningkan jiwa kita, kita mengheningkan pikir kita, menghilangkan takabur. Didalam hening ada heneng, didalam eninging jiwa manusia ada menenging roso, heneng. Jika sudah duduk heneng maka akan muncul rasa  ngrumangsani bahwa  kita tidak punya apa-apa dan tidak bisa apa-apa.

Para warga Padhepokan
Selanjutnya rencana ziarah ke Tembayat mengajarkan kita bahwa meninggalkan urusan duniawai yang selama ini kita kejar mati-matian namun ketika mati tidak membawa apa-apa. Walaupun kita bukan kyai namun miliki jiwa-jiwa kyai, jika tidak bisa memberi materi , berilah pitutur yang baik. Membela yang teraniaya, membela yang benar. Jika tidak bisa memberi pitutur maka usahakan memberi sembur. Sembur dalam arti memberi do'a. Mendoakan sak padane titah semoga diberi padange ati teteping iman.

Mugi-mugi Allah netepaken kulo lan panjenengan sedoyo sak anak turun kulo lan panjenengan sedoyo, dados tiyang-tiyang kang kagungan darmo tumpraping Allah, sak padane titah lan badan kito piyambak lan neteping iman. Al-Fatihah 


Wassalamu'alaikum Wr. Wb 


Postingan Populer