Ngeningke Cipto Mbangun Sasomo


Aurotan
Minggu ke-1, 4 Oktober 2018

Oleh :
Gus Hairi Mustofa
Pemangku Padhepokan PUSAKA Sunan Tembayat
Dandong Srengat-Blitar

Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat


Assalamu'alaikum Wr. Wb
 
NAPAK TILAS BLITAR - MAGETAN - KULONPROGO

*****

Ki Kebo Kanigoro, Satrio Pinandhito
Pengembara Batin yang Membangun Masyarakat Madani

Manusia dalam perjalanan hidupnya ada beberapa tahapan yang menuju kematian. Ada yang mulai kecil baik sebagaimana para rosul sampai meninggal husnul khotimah. Manusia yang lahir baik meninggal tapi dalam keadaan su'ul khotimah. Orang yang awalnya jelek namun berakhir dalam kondisi baik seperti Kanjeng Sunan Kalijogo atau Umar bin Khatab. Yang keempat adalah orang yang awal sudah jelek dan meninggal dalam kondisi su'ul khotimah.

Yang menjadi penjahat dalam diri kita ini adalah banyaknya Firaun, masih ada Namrud, masih ada iblis dihati kita. Manakala kita sudah menjadi Sariraning Tunggal, ada Muhammad, Adam, idris, Nuh, Isa, Musa linuwih, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali sebagaimana yang diajarkan Kanjeng Sunan Kalijogo yang direpresentasikan oleh Kanjeng Sunan Tembayat maka yang namanya sarira tunggal kita harus mampu membunuh yang ada dihati kita berupa firaun yang mewarisi rasa takabur dan merasa paling benar. Kita harus mampu membunuh rasa yaudiyah atau rasa pelit tidak mau berkorban.

Ki Kebo Kanigoro di Kulonprogo
Nah kepedihan hati semacam ini pernah dialami oleh seseorang yang sangat-sangat mencintai Allah dalam hidupnya yaitu Kanjeng Pangeran Kebo Kanigoro. Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah ningrat Majapahit yang dalam darahnya mengalir trah Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit. Ia putera Adipati Andayaningrat, Ki Ageng Pengging Sepuh, Adipati Pengging yang menikahi Ratu Pembayun, Rr. Ayu Putih, puteri  Brawijaya V.

Urut-urutan sejarahnya dimulai saat Prabu Brawijaya V menikahi Putri Champa, Dewi Anarawati.  Lalu, lahir tiga anak :  seorang putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa wilayah Pengging. Yang kedua, Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura. Dan yang ketiga Raden Jaka Gugur.

Adipati Handayaningrat IV dan putri sulung Prabu Brawijaya V, melahirkan Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga. Selisih usia mereka hanya satu tahun, Kanigara lahir 1472 M sedang Kenanga tahun 1473 M.

Raden Kebo Kanigara sudah meninggalkan istana, sejak muda. Niatnya pergi meninggalkan Pengging untuk menjadi Vanaprastha, seorang pertapa muda. Perjalanan spiritual Kanigara sangat panjang, hingga kemudian sampai disalah satu daerah perbukitan Menoreh.

Sejak kepergian Raden Kebo Kanigoro dari kadipaten, Raden Kebo Kenanga kembali kehilangan orang yang dicintai. Sebab, ramandanya, Adipati Handayaningrat IV, mangkat. Sejak itulah, Kebo Kenanga  menggantikan sang ayah sebagai Adipati Pengging, yang kemudian berjuluk Ki Ageng Pengging dan berputra Jaka Tingkir yang kelak menjadi penguasa Pajang.

Maka begitulah. Kesemestaan yang bergeser ini, akhirnya member kisah lain, tentang siapa penerus trah Majapahit, saat Jaka Tingkir memproklamirkan Kerajaan Pajang dan kelak akan menurunkan raja-raja besar Jawa.
 
Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat

Beliau men-uzlah dalam hidupnya, mengasingkan diri didaerah Desa Kaligintung perbukitan Menoreh, daerah yang subur. Didalam uzlahnya beliau mengajarkan bagaimana menjadi seorang yang ikhlas, bagimana mengajarkan kebaikan dan mengajak menyerukan kebaikan untuk semua makhluk. Beliau rela menyisihkan perjalanan hidupnya dari keramaian kehidupan duniawi. Beliau lebih banyak "Ngeningke cipto mbangun sasomo" artinya mengheningkan dirinya sendiri, menjauhi nafsu duniawi namun tetap membangun kebersamaan.

Kalau kita lihat Ki Kebo Kanigoro adalah sejaman dan satu guru dengan Kanjeng Sunan Tembayat. Dan keduanya merupakan murid dari Syekh Siti Djenar dan Sunan Kalijogo. Bahwasanya Ki Kebo Kanigoro itu berada di Kaligintung adalah membangun masyarakat madani untuk menyokong kekuatan Mataram dan ikut membangun Mataram yang pada waktu itu disebut Kulonprogo perbukitan Menoreh. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Eyang Dalmodal yang berarti menutup siapa jati dirinya oleh karena itu marilah kita ikuti jejak Ki Kebo Kenongo.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Napak Tilas Padhepokan Pusaka di Magetan dan Kulonprogo

Tahlil di Kediaman Mbah Dian Magetan

Silaturahim bersama warga Padhepokan Pusaka cabang Magetan

Silaturahim bersama warga Padhepokan Pusaka cabang Magetan


Silaturahim bersama warga Padhepokan Pusaka cabang Magetan


Suasana peserta acara peringatan 1 Muharram di Desa Lembeyan Kulon - Lembeyan - Magetan




Gus Hairi Mustofa menjadi pengisi acara puncak peringatan 1 Muharram Lembeyan - Magetan







Perjalanan dilanjutkan menuju Kota Yogjakarta daerah Kulonprogo.
Kota disebelah barat Jogja dengan ibu kota Wates. 



Suasana Pasar Klepu subuh dinihari
Bersama rekan seperjuangan




Ziarah Paku Alam Giri Gondo
Kulonprogo

Sejarah singkat Kadipaten Pakualaman
Kadipaten Pakualaman atau Negeri Pakualaman atau Praja Pakualaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Selir Srenggorowati dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles (Gubernur Jendral Britania Raya yang memerintah saat itu) sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta.

Berawal dari pertikaian Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah Sri Sultan Hamengku Buwono II (HB II) melawan pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda (di bawah pengaruh Perancis semasa Raja Lodewijk Napoleon dari Perancis) Herman Willem Daendels. Daendels mengirim pasukannya menyerang Kraton Yogyakarta pada Desember 1810 untuk memadamkan pemberontakan Raden Ronggo (KAA Ronggo Prawirodirdjo III, bupati Madiun dan penasihat politik HB II) yg akhirnya berakibat penurunan paksa HB II dari tahta. Tampuk kekuasaan dialihkan kepada GRM Soerojo yg diangkat sebagai wali raja (regent) dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Saudara tiri HB II, Pangeran Notokusumo dan putranya Notodiningrat, yg mendukung pemberontakan ini pun ditangkap Belanda di Semarang dan dibawa ke Batavia.

Pada 1811, kekuasaan kolonial Belanda-Perancis di Pulau Jawa direbut oleh Inggris dengan Kapitulasi Tuntang 11 Agustus 1811, dan Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memimpin koloni ini dengan jabatan Letnan Gubernur Jenderal. Raffles berusaha mendapat dukungan dari para penguasa lokal, salah satunya Sultan HB II (yg dikenal sebagai Sultan Sepuh). Ia mengutus Captain Robinson ke Yogyakarta untuk mengembalikan HB II ke tahtanya dan dan menurunkan RM Suryo (HB III) kembali menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom pada 10 Desember 1811.

Sampai di sini ada 2 versi mengenai peran Pangeran Notokusumo dalam ontran-ontran di Kasultanan Yogyakarta menurut sejarahwan KPH Sudarisman Poerwokoesoemo, mantan Wali kota ke-2 Yogyakarta dan salah seorang pendiri UGM.

Versi I:
BPH Notokusumo menemui HB II untuk menyampaikan proposal dari pemerintah kolonial Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danureja II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesti kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri kedatangan Raffles ke Yogyakarta dan mengadakan jamuan kenegaraan.

Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delapan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran. Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh karena dianggap ikut memengaruhi Adipati Anom, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Jin Sing menemui John Crawford, residen Inggris untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawford dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom diangkat lagi menjadi sultan. Dalam surat itu pula Notokusumo diusulkan menjadi Pangeran Merdika. Akhirnya diusulkan Raffles datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.

Versi II:
Segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Perancis kepada Inggris, Hamengkubuwana II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah Inggris Sultan mengusulkan beberapa tuntutan, di antaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya Pangeran Natakusuma dan putranya Natadiningrat.

Oleh Raffles HB II dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Sebaliknya HB II diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, HB II segera mengadakan perundingan dengan Sunan Pakubuwono IV untuk melepaskan diri dari Inggris. HB II secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran pasukannya dan justru memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Natakusuma dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.

Dan akibatnya pada 18 Juni 1812, pasukan Inggris bersenjata lengkap dipimpin Admiral Gillespie mengepung Kraton Yogyakarta, dibantu oleh Legiun Mangkunegaran di bawah komando Pangeran Prangwedana. Gillespie segera mengirim ultimatum kepada HB II untuk segera menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Natakusuma menjadi pangeran mardika. Sultan HB II dengan tegas enggan memenuhi ultimatum. Sebuah versi lain mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir, istana dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan HB II untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi HB III dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta.

Akhirnya HB II ditangkap dan dibuang ke Pulau Penang dan putra mahkotanya RM Suryo dinobatkan sebagai raja penuh bergelar Sultan Hamengku Buwono III (HB III). Peristiwa ini dikenal sebagai GEGER SEPOY oleh orang-orang Yogyakarta. (catatan: Sepoy berasal dari kata nama pasukan Inggris yg direkrut dari kaum Sepoy/Sepohi/Sepehi dari India).

Akibat pertempuran tersebut, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat harus menerima konsekuensi, antara lain:
Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya. Angkatan bersenjata Kasultanan Ngayogyakarta diperkecil menjadi hanya beberapa kesatuan tentara keamanan keraton saja. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, saudara tiri HB II yang berjasa mendukung Inggris, dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Paku Alam I.

Berdasarkan point (3) di ataslah, kemudian Pangeran Notokusumo dinobatkan menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I pada 29 Juni 1813, menyusul Political Contract 17 Maret 1813 antara Residen Inggris John Crawford dan Pangeran Notokusumo, yg isinya antara lain:
BPH Notokusumo diangkat sebagai Pangeran Mardika di bawah Kerajaan Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun. Tanah yang diberikan meliputi sebuah kemantren di dalam kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan daerah Karang Kemuning (selanjutnya disebut Kabupaten Adikarto) yang terletak di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.  Sumber : wikipedia


Pintu masuk komplek makam Paku Alam


******

Postingan Populer